Baca Juga
Kehidupan yang serba cepat dan sibuk bisa membuat orangtua lupa diri
saat berkomunikasi dengan anak. Hasilnya, beragam kalimat yang
seharusnya tak didengar buah hati pun menjadi santapan sehari-hari.
Padahal, beberapa kalimat memiliki kemampuan untuk memengaruhi hingga
menyakiti hati si kecil. Berikut ini enam kalimat yang sebaiknya tidak
diucapkan orangtua.
1. “Duh, kamu ini kebangetan…”
Anak-anak, khususnya anak usia dini, memercayai begitu saja apa yang mereka dengar tanpa banyak bertanya. Salah satunya, label negatif yang disematkan pada mereka. kalimat yang melabeli justru akan menjadi pengakuan yang semakin membuat anak yakin bahwa ia memiliki sifat seperti yang “dituduhkan”. Misalnya, ketika anak berlaku kasar terhadap teman dan Anda memarahinya dengan menyebut si kecil “nakal”.
Sebaiknya, Anda memberi tahu bahwa kebiasaan atau perilaku tersebut kurang baik, tanpa menyebut kata sifatnya. Misalnya, “Putri sangat sedih, lo, waktu kamu bilang ke teman lain agar tidak bermain bersama dia. Yuk minta maaf dan hibur.”
2. “Dasar cengeng…”
Menangis adalah cara seorang anak, khususnya anak-anak usia dini, untuk mengekspresikan perasaan mereka. ketika mereka kesal, lelah, atau takut, mereka akan menangis. Wajar memang jika orangtua lebih mengidamkan anak yang jarang menangis. Namun, menyebut anak sebagai cengeng tentu tidak tepat, juga tidak bermanfaat.
Kalimat seperti ini hanya akan mengirimkan pesan ke anak bahwa apa yang dirasakan anak itu tidak tepat. Menangis itu salah. Jadi, alih-alih melontarkan ucapan yang “menyakitkan” seperti itu, sebaiknya kenalkan anak pada emosi yang ia rasakan lebih dulu. Misalnya, “Kamu pasti kesal, ya, waktu Gisel bilang tidak mau lagi berteman. Tidak apa-apa, teman yang lain, kan, masih banyak. Mama juga nanti ikut temani kamu bermain, deh…”
Dengan demikian, Anda telah membantu memberinya kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaan.
3. “Contoh, tuh, kakak kamu…”
Jika anak enggan belajar sementara kakaknya tak perlu lagi disuruh untuk mengerjakan PR, bukan berarti Anda bisa langsung membanding-bandingkan keduanya. Pasalnya, kegiatan membanding-bandingkan ini tak selalu berhasil membuat anak terpacu untuk seperti kakaknya.
Membandungkan anak dengan saudara atau teman-temannya menunjukkan bahwa Anda menginginkan anak menjadi seseorang yang berbeda. Bahkan bila sampai memaksa anak untuk mengerjakan sesuatu yang tak ia sukai atau belum saatnya dia lakukan, bisa-bisa membuat anak bingung dan kehilangan kepercayaan dirinya sehingga ia merasa tak disayang dan kecil hati hingga dewasa nanti.
Jadi, coba gantilah kalimat Anda dengan kalimat seperti, “Hebat, ya, kalian berdua, makan pagi habis. Mama senang, deh.”
4. “Kamu harusnya bisa lebih pintar…”
Sama halnya membanding-bandingkan, kalimat seperti ini bisa berdampak luar biasa. Ingat, belajar adalah sebuah proses trial and error. Anak boleh jadi tidak tahu bahwa mengambil cokelat dari kulkas bisa dilakukan tanpa perlu membuat kulkas berantakan. Apabila diingatkan dan diberi tahu bagaimana seharusnya ia mengambil dengan baik, tentu akan lebih baik untuk perkembangannya.
Namun, jika suatu hari anak melakukan kesalahan serupa pun, kalimat seperti ini tetap saja tidak suportif dan tak bermanfaat. Lebih baik, sampaikan secara spesifik, seperti, “Kalau mau mengambil cokelat, Adik boleh kok, minta tolong Mama…”
5. “Cukup atau Mama Hukum!”
1. “Duh, kamu ini kebangetan…”
Anak-anak, khususnya anak usia dini, memercayai begitu saja apa yang mereka dengar tanpa banyak bertanya. Salah satunya, label negatif yang disematkan pada mereka. kalimat yang melabeli justru akan menjadi pengakuan yang semakin membuat anak yakin bahwa ia memiliki sifat seperti yang “dituduhkan”. Misalnya, ketika anak berlaku kasar terhadap teman dan Anda memarahinya dengan menyebut si kecil “nakal”.
Sebaiknya, Anda memberi tahu bahwa kebiasaan atau perilaku tersebut kurang baik, tanpa menyebut kata sifatnya. Misalnya, “Putri sangat sedih, lo, waktu kamu bilang ke teman lain agar tidak bermain bersama dia. Yuk minta maaf dan hibur.”
2. “Dasar cengeng…”
Menangis adalah cara seorang anak, khususnya anak-anak usia dini, untuk mengekspresikan perasaan mereka. ketika mereka kesal, lelah, atau takut, mereka akan menangis. Wajar memang jika orangtua lebih mengidamkan anak yang jarang menangis. Namun, menyebut anak sebagai cengeng tentu tidak tepat, juga tidak bermanfaat.
Kalimat seperti ini hanya akan mengirimkan pesan ke anak bahwa apa yang dirasakan anak itu tidak tepat. Menangis itu salah. Jadi, alih-alih melontarkan ucapan yang “menyakitkan” seperti itu, sebaiknya kenalkan anak pada emosi yang ia rasakan lebih dulu. Misalnya, “Kamu pasti kesal, ya, waktu Gisel bilang tidak mau lagi berteman. Tidak apa-apa, teman yang lain, kan, masih banyak. Mama juga nanti ikut temani kamu bermain, deh…”
Dengan demikian, Anda telah membantu memberinya kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaan.
3. “Contoh, tuh, kakak kamu…”
Jika anak enggan belajar sementara kakaknya tak perlu lagi disuruh untuk mengerjakan PR, bukan berarti Anda bisa langsung membanding-bandingkan keduanya. Pasalnya, kegiatan membanding-bandingkan ini tak selalu berhasil membuat anak terpacu untuk seperti kakaknya.
Membandungkan anak dengan saudara atau teman-temannya menunjukkan bahwa Anda menginginkan anak menjadi seseorang yang berbeda. Bahkan bila sampai memaksa anak untuk mengerjakan sesuatu yang tak ia sukai atau belum saatnya dia lakukan, bisa-bisa membuat anak bingung dan kehilangan kepercayaan dirinya sehingga ia merasa tak disayang dan kecil hati hingga dewasa nanti.
Jadi, coba gantilah kalimat Anda dengan kalimat seperti, “Hebat, ya, kalian berdua, makan pagi habis. Mama senang, deh.”
4. “Kamu harusnya bisa lebih pintar…”
Sama halnya membanding-bandingkan, kalimat seperti ini bisa berdampak luar biasa. Ingat, belajar adalah sebuah proses trial and error. Anak boleh jadi tidak tahu bahwa mengambil cokelat dari kulkas bisa dilakukan tanpa perlu membuat kulkas berantakan. Apabila diingatkan dan diberi tahu bagaimana seharusnya ia mengambil dengan baik, tentu akan lebih baik untuk perkembangannya.
Namun, jika suatu hari anak melakukan kesalahan serupa pun, kalimat seperti ini tetap saja tidak suportif dan tak bermanfaat. Lebih baik, sampaikan secara spesifik, seperti, “Kalau mau mengambil cokelat, Adik boleh kok, minta tolong Mama…”
5. “Cukup atau Mama Hukum!”
Ancaman biasanya muncul akibat orangtua frustrasi menghadapi tingkah
anak. Kalimat ancaman tak efektif untuk membuatnya tak melakukan
kesalahan lagi.
Masalahnya, cepat atau lambat, Anda harus mewujudkan ancaman itu agar tetap memiliki kekuatan di hadapan anak. perlu diketahui, semakin dini usia anak, semakin lama pula ia memahami perintah. Akan jauh lebih efektif mengembangkan taktik yang konstruktif atau melakukan sanksi ‘time-out’, ketimbang memberi ancaman verbal.
6. “Ayo, Cepat!”
Di zaman yang serba cepat, siapa sih yang tidak pernah mendengar kalimat seperti itu? lihat saja, setiap pagi orangtua memburu-buru anaknya supaya segera mandi, makan, memakai seragam dan sepatu, dan sebagainya.
Jika ini rutin dilakukan, sebaiknya Anda perlu waspada. Anak akan merasa bersalah karena telah membuat orangtuanya menjadi begitu “heboh” dan panik, tetapi hampir tidak ada anak yang kemudian berubah perilakunya.
Jadi, daripada membentak dan memburu-buru anak setiap pagi, lebih baik mencari cara yang lebih “tenang” untuk meminta anak melakukan sesuatu. Misalnya, mengambilkan anak sepatu, mematikan TV agar anak tidak menonton acara kartun sambil makan pagi, bangunkan anak lebih awal, dan sebagainya.
Itulah 6 kalimat yang sebaiknya tidak diucapkan orangtua. Sebarkan dan semoga bermanfaat.
Masalahnya, cepat atau lambat, Anda harus mewujudkan ancaman itu agar tetap memiliki kekuatan di hadapan anak. perlu diketahui, semakin dini usia anak, semakin lama pula ia memahami perintah. Akan jauh lebih efektif mengembangkan taktik yang konstruktif atau melakukan sanksi ‘time-out’, ketimbang memberi ancaman verbal.
6. “Ayo, Cepat!”
Di zaman yang serba cepat, siapa sih yang tidak pernah mendengar kalimat seperti itu? lihat saja, setiap pagi orangtua memburu-buru anaknya supaya segera mandi, makan, memakai seragam dan sepatu, dan sebagainya.
Jika ini rutin dilakukan, sebaiknya Anda perlu waspada. Anak akan merasa bersalah karena telah membuat orangtuanya menjadi begitu “heboh” dan panik, tetapi hampir tidak ada anak yang kemudian berubah perilakunya.
Jadi, daripada membentak dan memburu-buru anak setiap pagi, lebih baik mencari cara yang lebih “tenang” untuk meminta anak melakukan sesuatu. Misalnya, mengambilkan anak sepatu, mematikan TV agar anak tidak menonton acara kartun sambil makan pagi, bangunkan anak lebih awal, dan sebagainya.
Itulah 6 kalimat yang sebaiknya tidak diucapkan orangtua. Sebarkan dan semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar dengan Bijaksana