Baca Juga
Kata wanita berhijab itu, setiap minggunya dari satu mobil saja dia dapat mengantongi pendapatan bersih Rp3 juta. Jika satu bulan, Rp12 juta tentu dia kantongi, angka yang cukup menggiurkan ketimbang harus bekerja di belakang komputer dan berpakaian rapi.
Menurut Ita, angkutan berbasis aplikasi memang saat ini menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Terlebih, pasarnya semakin terbuka luas.
"Bayangkan saja, jika taksi legal dikenakan biaya Rp7.500 sekali buka pintu, angkutan pelat hitam hanya dikenakan biaya Rp3 ribu. Untuk satu menitnya, GrabCar atau Uber hanya mematok tarif Rp300 rupiah. Artinya, jika naik mobil selama perjalanan 15 menit, cuma Rp6.500," kata Ita saat berbincang di Indonesia Lawyers Club, tvOne, Selasa malam, 16 Maret 2016.
Awal dia tahu tentang GrabCar dan Uber saat menonton televisi pada 2013. Saat itu ada banyak kendaraan Uber yang dikandangi oleh pemerintah daerah karena menyalahi aturan. Tetapi selanjutnya, kembali tak dipermasalahkan.
Karena mendengar pendapatannya yang besar, Ita kemudian mencoba mengunduh aplikasinya di telepon seluler. Dia juga mencoba naik Uber saat itu. Kesannya nyaman, wangi, dan mobil yang terlihat baru. Sejak saat itulah Ita mencoba gabung dengan Uber dan GrabCar dan memiliki sopir sendiri untuk dipekerjakan.
"Kalau cuma Rp700 ribu sehari mah gampang dapatnya. Jam 04.00 sore sudah pulang, mobilnya wangi, bersih, muda-muda juga, karena armada pelat hitam yang gabung kan enggak boleh lebih dari lima tahun usianya, sudah begitu sopirnya sopan-sopan," kata dia.
Tetapi kini, Ita sempat takut saat sejumlah pihak menentang keberadaan GrabCar atau Uber. Padahal, kata Ita, dia bersama para pengusaha angkutan pelat hitam berbasis aplikasi juga banyak yang ingin disetarakan seperti taksi konvensional.
"Maksudnya, kita juga mau seperti mereka, misal bayar pajak. Sebab saat ini kan memang kami tidak dikenakan pajak, kalaupun ada itu cuma Rp25 ribu perminggu pungutan dari Grab atau Uber, itupun untuk asuransi jiwa, dua penumpang dan satu sopir," kata Ita.
"Saat ini, sejak ramai-ramai penolakan Grab atau Uber, kadang kami takut-takut juga, karena sering ada sweeping di bandara. Kadang kalau tertangkap ada yang disuruh push up. Padahal ini kan halal, kami juga tidak mau kucing-kucingan. Kita juga pengin disetarakan, bayar pajak, tapi kan memang belum ada yang urus soal itu," kata dia.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar dengan Bijaksana